Berikut ini beberapa pandangan sebagian orang, mengapa malam Jumat dan Selasa Kliwon dianggap keramat. Membaca ini jangan ditelan mentah-mentah ya. Sebagai pengetahuan saja. selamat menyimak.
Alasan Malam Selasa dan Jumat Kliwon Keramat, Dipilihnya malam Selasa Kliwon maupun sebagai Jumat Kliwon sebagai hari untuk melakukan ritual di kawasan Cepuri dan Pantai Parangkusmo, tidak lepas dari tradisi masyarakat Jawa yang menganggap malam Jumat Kliwon maupun Selasa Kliwon merupakan hari yang dikeramatkan.
Hal ini terkait dengan tradisi puasa selama 40 hari yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta yang puncak puasanya terjadi pada hari Jumat Kliwon maupun Selasa Kliwon.“Jika orang dahulu itu berpuasa selama 40 hari dan puncak puasa yang berakhir pada malam Jumat kliwon, namun orang saat ini hanya mengambil tiga hari puasa untuk mewakili 40 hari puasanya mulai hari Rabu Wage, Kamis Pon dan puncaknya pada malam Jumat Kliwon,” kata RP Suraksotarwono, Juru Kunci sekaligus sesepuh warga di Pantai Parangsumo.
Di masyarakat Jawa sendiri, hari yang dianggap keramat berbeda-beda tergantung daerahnya. Seperti masyarakat di kawasan Jawa Tengah ada yang menganggap malam Jumat Wage adalah hari yang dikeramatkan dan masih banyak lagi daerah-daerah yang punya hari yang dianggap keramat.
Di masyarakat Jawa sendiri, hari yang dianggap keramat berbeda-beda tergantung daerahnya. Seperti masyarakat di kawasan Jawa Tengah ada yang menganggap malam Jumat Wage adalah hari yang dikeramatkan dan masih banyak lagi daerah-daerah yang punya hari yang dianggap keramat.
“Masyarakat di daerah Kemukus Jawa Tengah, malam Jumat Wage adalah malam yang dikeramatkan. Sehingga banyak warga yang melakukan ritual pada malam Jumat Wage. Begitupula bagi orang Yogyakarta malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon merupakan hari yang keramat, sehingga banyak yang melakukan ritual saat malam Selasa atau Jumat kliwon,” paparnya.
Ketika masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya melakukan ritual di Sela Sengker (di kawasan Cepuri) maka ada tiga penunggu yang dipercayai oleh para pelaku ritual. Mereka yang menunggu Sela Sengker (batu kecil) adalah Mbok Rara Kidul sebagai pembantu Ratu Kidul. Mbok Nyi Roro Kidul merupakan Wakil Ratu Kidul atau Gusti Kanjeng Ratu Kidul, sebagai penguasa laut selatan.
“Orang yang melakukan ritual untuk Mbok Roro Kidul adalah mereka yang mencari jalan pintas. Karena Mbok Roro Kidul ini diibaratkan mahkluk jin. Sedangkan orang yang melakukan ritual untuk Nyi Roro Kidul adalah sosok yang baik hati dan akan mempertemukan peziarah dengan Ratu Kidul,” terangnya.
Dalam tradisi yang telah berlangsung turun temurun, setelah peziarah melakukan doa di batu sengker, maka seluruh sesajian yang dipersembahkan untuk Gusti Kanjeng Ratu Kidul maka akan dilabuh di Pantai Parangkusumo yang jaraknya 300 meter selatan Cepuri.
“Labuhan ini sebagai lambang persembahan kepada Ratu Kidul agar doa-doa yang disampaikan dapat terkabul. Yang selanjutnya barang-barang yang dilabuh itu biasanya diperebutkan oleh warga,” terangnya.
Menurut RP Suraksotarwono, memberikan sesaji kepada Ratu Kidul sendiri tidaklah sesuai dengan kemauan Ratu Kidul. “Di Kerajaan Ratu Kidul semua kebutuhan sudah ada bahkan berlebih dan tidak kekurangan sama sekali. Dalam laku spiritual yang telah dilakukan dan telah bertemu Ratu Kidul semua kebutuhan di Kerajaan Ratu Kidul semua sudah ada bahkan melimpah,” tandasnya.
Meski tidak menentang sepenuhnya, bapak yang punya menantu Ketua DPRD Kabupaten Bantul ini beranggapan ada nilai positif dari labuhan yang dilakukan oleh masyarakat, karena berbagai barang yang dilabuh nantinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang menemukannya mana kala merebutkan barang-barang yang dilabuh tersebut.
“Terkadang masyarakat yang mengikuti labuhan mendapatkan buah-buahan, pakaian ataupun hewan peliharaan yang ikut dilabuh seperti ayam ataupun itik,” tuturnya.
Seiring dengan perkembangan jaman dan juga tuntutan ekonomi, ritual malam Jumat Kliwon maupun Selasa Kliwon seakan-akan kehilangan rohnya, karena hanya semacam menjadi tradisi semata. Bahkan mulai tahun 1980-an tradisi malam Jumat Kliwon dan Selasa kliwon seakan akan hanya menjadi tempat untuk kegiatan ekonomi semata.
Banyak kegiatan pentas seni, maupun kegiatan ekonomi seperti jual beli pakaian, obat-obatan justru lebih mencolok dari kegiatan ritualnya sendiri. Kegiatan ekonomi dan tuntutan perut ini yang semakin mengaburkan dan menggusur para pelaku ziarah untuk melakukan ritualnya di kawasan Cepuri maupun labuhan di Kawasan Pantai Parangkusumo.
“Untuk melakukan ritual, para peziarah butuh ketenangan. Namun saat ini kawasan Cepuri dan Kawasan Pantai Parangkusumo saat malam Jumat Kliwon maupun Selasa Kliwon layaknya pasar malam, sehingga keberadaan para peziarah sendiri tergusur,” terangnya.
Sumber http://www.infogue.com/
Sumber http://www.infogue.com/
0 komentar:
Posting Komentar